Teknologi “Common Rail” bak dewa bagi mesin diesel modern. Dengan common
rail, mesin diesel masuk ke mobil-mobil kelas eksklusif atau mobil-mobil
premium seperti Jaguar dan BMW Seri 7. City car juga tidak luput dari godaan
mesin diesel dengan teknologi terbaru tersebut.
Sebagai contoh, Fiat sudah berhasil membuat mesin diesel 1.300 cc bertenaga 70
hp dengan konsumsi bahan bakar 3-4 liter/100 km atau rata 25 km/liter. Jadi
mesin diesel bukan lagi hanya milik komunitas truk dan bus berukuran besar atau
alat-alat berat dan kapal.
Di Indonesia juga sudah ada beberapa ATPM menjajakan kendaraannya dengan mesin diesel
common rail. Mulai dari double cab sampai minivan menengah, seperti Kijang
Innova. Sayangnya, konsumen kendaraan bermesin diesel common rail kesulitan
mendapatkan bahan bakar sesuai dengan standar yang telah ditentukan
produsennya.
Pasalnya,
Pertadex yang saat ini cuma dipasarkan oleh Pertamina, makin sulit diperoleh.
Di samping itu, harganya paling mahal dibandingkan dengan bahan bakar minyak
lain. Padahal di Jerman, bahan bakar diesel moderen di bawah harga bensin
terbaik.
Karena itulah, konsumen rela merogoh kocek lebih banyak untuk mendapat
kendaraan bermesin diesel. Sebab, setelah dua tahun, mereka akan kembali
mendapatkan nilai ekonomisnya dibandingkan mobil bermesin bensin.
Diesel vs Bensin
Sebelum mendalami common rail, kita bahas dulu tentang mesin yang digunakan
secara umum sekarang ini berdasarkan bahan bakar minyak. Untuk ini, hanya ada
dua jenis, yaitu bensin dan diesel atau kita menyebutnya solar.
Di kalangan orang teknik, mesin diesel dikenal dengan CI (compression ignition)
atau mesin dengan penyalaan kompresi. Sedangkan mesin bensin disebut SI (spark ignition), mesin dengan
penyalaan bunga api (busi).
Pada mesin diesel, pembakaran dipicu oleh udara yang dimampatkan atau
dikompresi di dalam silinder. Akibat pemampatan itu, tekanan udara menjadi
sangat tinggi. Begitu juga suhunya, mencapai titik bakar solar. Karena itu,
begitu solar disemprotkan ke udara itu, langsung terbakar. Dengan cara ini,
mesin diesel tidak memerlukan sistem penyalaan atau percikan bunga api.
Untuk mendapatkan tekanan tingi itu, perbandingan kompresi harus tinggi. Untuk
mesin diesel, berkisar 16 – 25: 1. Sedangkan mesin bensin 6 - 12 : 1.
Perbandingan kompresi menentukan efisiensi kerja mesin. Makin tinggi
perbandingan kompresi, lebih efisien sebuah mesin. Meski begitu, perbandingan
kompresi tidak bisa ditentukan begitu saja. Harus juga mempertimbangkan sifat
dan kualitas bahan bakar yang akan digunakan.
Diesel Common Rail vs Diesel Konvensional
Perbedaan antara mesin diesel modern, common rail dengan konvensional adalah
cara memasok bahan bakarnya. Terutama, komponen yang berada antara pompa
injeksi dan injektor. Ada dua komponen utama di sini, yaitu pompa injeksi atau
mekanik awam menyebutnya Bosch pump dan injektor.
Cara kerja common rail sama konsep hidup bersama. Dalam hal ini, semua injektor
yang bertugas memasok solar langsung ke dalam mesin, menggunakan wadah atau rel
yang sama. Caranya sama dengan yang digunakan pada sistem injeksi bensin.
Sedangkan mesin diesel konvensional, setiap injektor mendapatkan pasokan solar
sendiri-sendiri langsung dari pompa injeksi.
Tekanan bahan bakar dalam rel sangat tinggi. Sekarang, yaitu common rail generasi ke-3, tekananya sudah mencapai 1800 bar.
Kalau dikonversi ke PSI yang masih digunakan sekarang menjadi 26.100 PSI.
Bandingkan dengan tekanan ban 30 PSI. Atau tabung elpiji 25 bar dan CNG 200
bar. Dengan tekanan setinggi tersebut, pengabutan yang dihasilkan tentu saja
semakin bagus. Pembakaran yang dihasil menjadi lebih dan kerja mesin makin
efisien.
No comments:
Post a Comment